Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2012

Cairan Semen Pria Adalah Antidepresan Yang Baik Untuk Wanita

Tahun 1986, seorang peneliti dari University of British Colombia di vancouver Canada, Philip G. Ney, mengajukan sebuah hipotesis bahwa cairan semen pria mungkin dapat menyebabkan perubahan pada mood seorang wanita. Hipotesis ini didasarkan pada analisis bahwa cairan semen pria mengandung beberapa hormon antagonis terhadap depresi. Dan, dinding vagina dapat menyerap berbagai bahan organik maupun anorganik. Hipotesis ini telah bertahan cukup lama sampai akhirnya ada penelitian membuktikan bahwa hipotesis yang dijajukan oleh Ney memang benar dan terbukti. Cairan semen atau sehari-hari disebut air mani adalah cairan yang membawa sel-sel sperma yang dikeluarkan oleh organ seksual pria. Semen dikeluarkan melalui proses ejakulasi dan bercampur dengan sel-sel sperma. Ketika ejakulasi, seorang pria akan mengeluarkan 2-5ml cairan semen. Warna semen adalah putih mutiara dengan bau khas langu dan pH 7-8. Jumlah cairan semen tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih. Jika kurang dari 1,5 ml

Perubahan untuk semua

“Kelas menumpulkan pikiran dan mematikan kreativitas”. Kata John Nash dalam film The beatiful mind. Saya tidak tahu persis apakah Nash pernah mengungkapkan kalimat itu ketika melanjutkan studi di Princeton University. Tetapi, Nash adalah sosok unik yang jarang mengikuti perkuliahan didalam kelas tetapi pada akhinya mampu melahirkan karya intelektual yang sangat berpengaruh. Hadiah Nobel Ekonomi yang diterima pada tahun 1994 atas karyanya tentang teori permainan yang disebut “kesetimbangan nash” merupakan bukti bahwa Nash memang sosok yang unik. Terlepas dari uniknya sosok seorang John Forbes Nash, kutipan kalimat singkat di atas mungkin bisa menjadi sebuah acuan bagi kita membentuk pemahaman tentang pendidikan. Nash tentu tidak sementara memprovokasi kita untuk membubarkan lembaga pendidikan formal. Tetapi, ada hal penting harus kita pelajari dari kutipan itu. Pendidikan Bukan Cuma Sekolah. Kutipan di atas dapat bermakna bahwa pendidikan seharusnya tidak dibatasi pada rua

Jari Manis Simbol Maskunilitas

Coba anda perhatikan antara jari telunjuk dan jari manis, manakah yang lebih panjang? Seringkali kita temukan ada pria yang memiliki jari manis yang lebih panjang dibanding dengan jari telunjuk. Pada wanita juga bisa ditemukan hal yang sama. Mengapa jari manis lebih panjang? Sebuah penelitian telah dipublikasi dalam  Proceeding of the National Academy of Sciences  seperti dikutip oleh  Science daily  (5/09/11)  menemukan bahwa panjang jari dipengaruhi oleh hormon seks pada masa embrio. Berdeda dengan penelitian sebelumnya,  penelitian ini tersebut menggunakan hewan coba tikus untuk mengetahui pengaruh hormon-hormon seks terhadap rasio digit. Dalam laporan penelitian tersebut, ahli biologi perkembangan Martin Cohn, Ph.D., dan Zhengui Zheng, Ph.D., dari  Howard Hughes Medical Institute  dan departemen genetika dan mikrobiologi molekuler di  UF College of Medicine  , mengatakan bahwa proporsi angka pria dan wanita ditentukan oleh keseimbangan hormon seks selama perkembangan em

Analisis Kritis

KONSOLIDASI MEMORI JANGKA PANJANG Oleh: Novie S. Rupilu Saya mungkin termasuk orang yang terlambat membaca buku  The Shallows . Buku yang masuk dalam finalis peraih penghargaan bergengsi Pulitzer Prize tahun 2011 lalu itu memang sudah beberapa kali saya lihat ketika berkunjung ke toko buku dan bagaimana bisa saya telah melewatkannya begitu saja. Tapi, saya berpikir positif saja dengan mengingat sebuah ungkapan “ late is better than never ”. Sekedar  mengingatkan kembali, buku itu terdiri dari 10 bab, belum termasuk prolog, epilog dan beberapa intermezo di dalamnya.  Buku itu merupakan perluasan dari artikel sebelumnya yang ditulis oleh Nicholas Carr pada majalah  The Atlanthic  dengan judul  Is google making us stupid?.  Nicholas Carr menyambung logika yang terputus pada esainya itu dengan menulis sebuah buku yang luar biasa. Kali ini Carr benar-benar menunjukkan bahwa ia memang serius dengan tuduhannya. Penjelasan mengenai sejarah buku, percetakan dan kegiatan mem

Nichollas Carr dan Logika Ex Post Facto Yang Masih Terputus

Pada tahun 2008, Nichollas Carr mempublikasikan artikelnya pada  The Atlantic . Esai yang tersohor itu berjudul  Is google making us stupid?.  Sebuah tulisan dengan judul yang sangat profokatif menurut banyak pengamat teknologi, bahkan boleh dikatakan sangat ekstrim. Carr memberikan pandangan yang berbeda terhadap budaya penggunaan internet yang semakin meningkat. Saya tak yakin bahwa Carr memiliki tendesi tertentu dengan mencantumkan Google pada judul tulisannya. Tentu saja saya harus berpikir bahwa penulis sekaliber Nichollas Carr tidak akan mencapur-aduk emosi dan kognitif, meskipun fakta neurosains banyak mengatakan bahwa emosi merupakan faktor paling dominan pada manusia ketimbang kognitif. Keyakinan saya ketika hendak membaca artikel itu adalah bahwa Carr akan menyuguhkan fakta-fakta yang mengarahkan saya pada sebuah kesimpulan bahwa internet atau google memang berpotensi membuat penggunanya menjadi bodoh.  Paling tidak, sebuah argumentasi yang sarat dengan logika dan artikul