Era teknologi dan informasi
saat ini telah merubah wajah sains menjadi lebih ramah. Sains bukan lagi
menjadi bagian dari orang-orang berkacamata tebal dengan pakaian yang tidak trendy
yang gemar membawa buku tebal dan menghabiskan waktu untuk tenggelam di
dalamnya pada ruang-ruang sunyi. Sains telah menjadi “cairan amnion” yang mengitari
dan memberikan nutrisi bagi pemikiran kita. Lihat saja, hampir semua media - baik
cetak maupun online - menyediakan ruang khusus untuk berita-berita sains. Sains
tidak lagi ditulis dengan bahasa yang ketat serta istilah-istilah yang sukar,
tetapi isi sains telah dikemas dengan bahasa narasi layaknya sebuah karya
sastra sehingga mudah dicerna oleh pemikiran yang awam sains sekalipun. Setiap
saat, kita bisa membaca berita tentang lingkungan, biologi, fisika, kimia
dengan santai ditemani secangkir kopi dan sepotong pisang goreng di pagi yang
cerah.
Sains telah menjadi
kebutuhan masyarakat modern saat ini. Tak perlu strata pendidikan yang terlalu
tinggi untuk memahami konsep-konsep sains. Orang bisa membicarakan perkembangan
sains seperti efek rumah kaca, sel punca, kloning atau proyek ambisius semacam human
genome project dengan santai hanya karena telah membaca laporan-laporan
jurnalistik tentang sains. Masyarakat saat ini adalah masyarakat yang “melek
sains” atau dikenal istilah scince literacy citizen. Sebuah proyek
masa depan yang telah digagas semenjak beberapa dekade terakhir.
Literasi sains didorong oleh
berkembangnya riset-riset sains pada lembaga-lembaga penelitian maupun
pendidikan. Media menyadari bahwa sudah saatnya hasil-hasil riset itu
dikeluarkan dari tumpukan kertas yang dirujuk hanya ketika ada riset lain yang
sejalan, tetapi harus dikomunikasikan secara luas kepada publik. Tujuannya,
mendidikan masyarakat menjadi lebih saintifik (scientific citizen). Infiltrasi sains ke dalam masyarakat juga
merupakan suatu upaya mendorong masyarakat modern yang rasional dan kritis
serta mengurangi dampak doktrinisasi yang tertutup. Sistim demokrasi modern
membutuhkan masyarakat yang rasional dan kritis. Dan, upaya itu dapat dilakukan
dengan mendorong pertumbuhan riset-riset sains pada lembaga-lembaga pendidikan.
Berkembang pesatnya
informasi seputar masalah-masalah sains justru terbalik rancang-bangun
pendidikan Indonesia. Pada kurikulum yang baru nanti, pendidikan sains bukan
lagi menjadi satu mata pelajaran tetapi dileburkan ke dalam pelajaran Bahasa
Indonesia, kalau tak mau dibilang disubordinasi. Kabar itu sudah dikemukakan
oleh Menteri Pendidikan, M. Nuh. Pendidikan dasar tak lagi mengajarkan sains
sebagai mata pelajaran tersendiri. Ada ketakutan bahwa kurikulum yang baru
nanti justru sebuah langkah mundur dalam perkembangan literasi sains di
Indonesia.
Kehadiran sains dalam sistim
pendidikan merupakan suatu langkah efektif untuk mendorong pertumbuhan sains
dan masyarakat yang melek sains. Kelompok terpelajar di lingkungan pendidikan formal
adalah lokomotif yang mempelopori perkembangan sains di masyarakat luas. Namun,
bagaimana jika kondisi tersebut menjadi terbalik. Kelompok terpelajar yang
diharapkan menjadi lokomotif sains justru bergerak dengan kecepatan siput. Sementara
di luar sana, publik terus disuguhi perkembangan sains dari luar negeri melalui
teknologi.
Diintegrasikannya sains
dalam mata pelajaran bahasa Indonesia merupakan kekacauan logika paling parah
yang mengarah pada kemunduran literasi sains pada kelompok terpelajar. Ada beberapa
alasan mengapa integrasi sains ke dalam mata pelajaran bahasa adalah kemunduran
sains di Indonesia.
Pertama. sains bukan hanya
mata pelajaran yang berisi informasi faktual tentang konsep-konsep atau
teori-teori abstrak dan kaku sehingga harus dianggap sulit diterapkan untuk
anak-anak pada usia sekolah dasar. Sains juga adalah proses dan cara berpikir. Dan,
proses merupakan ciri utama sains yang dilakukan dengan cara penyelidikan
ilmiah (scientific inquiry), baik secara laboratory inquiry atau field inquiry.
Sains menuntut keterlibatan aktif siswa secara mental maupun secara fisik. Memang
untuk jenjang pendidikan dasar, sains tidak harus diterapkan secara ketat
layaknya sains pada mahasiswa jenjang doktoral.
Sains untuk jenjang pendidikan
dasar harusnya lebih menyenangkan. Mengaitkan fenomena-fenomena yang ada di
sekitar dengan konsep-konsep dasar sains tentu akan menimbulkan minat siswa
untuk belajar. Melalui sains, siswa akan dilatih menjadi orang yang mampu
berpikir secara saintifik. Mengeksplorasi alam sekitar melalui
penyelidikan-penyelidikan ilmiah. Sains mengajarkan siswa cara berpikir sistematis,
rasional dan kritis. Adalah fakta bahwa perkembangan kemampuan berpikir tidak
selamanya seiring dengan perkembangan biologis. Berbagai riset sudah
membuktikan itu. Hasil-hasil riset juga sudah diterjemahkan menjadi kurikulum
sains yang menyenangkan dan dapat diterapkan pada anak semenjak berada pada
tingkat kanak-kanak.
Adalah fakta pula bahwa
anak-anak pada usia dini sering mengajukan pertanyaan yang seringkali membuat
orang tua atau orang dewasa menjadi kebingungan. Anak pada usia-usia
perkembangan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Mereka pada dasarnya adalah ilmuwan
yang tradisional. Tanpa kelengkapan kognitif yang memadai tetapi
pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan seringkali berupa pertanyaan yang
membutuhkan analisa yang mumpuni. Kurikulum sebagai cetak biru pendidikan seharusnya
bisa memfasilitasi hal itu. Meleburkan sains dalam mata pembelajaran bahasa
Indonesia adalah mereduksi sifat-sifat sains dan proses anti-literasi sains. Dan,
yang paling penting adalah kurikulum justru membunuh rasa ingin tahu dan sikap
ilmuwan siswa.
Kedua. bukan bahasa yang
membutuhkan sains sebagain bagian integral dari konsep berbahasa, tetapi sains yang
membutuhkan bahasa. Sains membutuhkan bahasa untuk kepentingan komunikasi
saintifik. Konsep-konsep sains atau hasil penyelidikan ilmiah maupun gagasan
ilmiah harus dapat dikomunikasikan. Komunikasi sains dapat dilakukan secara
lisan maupun tertulis. Pada tahap inilah, bahasa dipelajari oleh siswa. Tidak
tersubordinasi tetapi menyatu sebagai bagian integral yang tak dapat dipisahkan
dari. Ketika siswa harus mengkomunikasikan konsep atau hasil penyelidikan maka prasyarat
penguasaan kemampuan berbahasa secara lisan maupun tulisan diajarkan secara
komprehensif. Siswa diajarkan bagaimana menyampaikan gagasan secara lisan. Atau,
secara tertulis dengan mempelajari teknik-teknik menulis yang baik dan benar.
Mengajarkan sains dapat
sekaligus dilakukan dengan mengajarkan kemampuan-kemampuan berbahasa. Oleh karena
itu, pada perguruan tinggi bahasa adalah mata kuliah umum yang diajarkan di
semua bidang ilmu. Bahasa adalah alat komunikasi sekaligus alat berpikir yang
dibutuhkan oleh semua bidang ilmu bukan hanya sains. Akan menjadi kacau jika
pada akhirnya bahasa membawahi bidang-bidang ilmu lain.
Ketiga. Mengintegrasikan sains
di dalam bahasa pada akhirnya membutuhkan guru bahasa yang menguasai sains
secara mendetail. Saya membayangkan bahwa mata pelajaran bahasa Indonesia di
Indonesia pada Tahun 2013 nanti harus dilakukan secara laboratoris. Ada tabung
reaksi. Ada mikro pipet dan beberapa larutan kimia. Guru bahasa harus memahami
konsep fotosintesis dan membuktikannya melalui percobaan sederhana semacam percobaan
Sach untuk membuktikan ada tidaknya glukosa, atau percobaan Ingenhousz untuk
membuktikkan hasil fotosintesis adalah oksigen (O2). Atau, penyelidikan
ilmiah lapangan seperti identifikasi organisme dalam suatu plot. Jika pun
akhirnya hal itu dilakukan oleh guru sains maka terlihat jelas bahwa sains
telah disubordinasi. Dan yang paling penting adalah bahwa, konsep integrasi yang
didalilkan itu menjadi seperti air dan minyak. Tak akan pernah bisa menyatu
menjadi sebuah wujud baru jika sains yang dileburkan ke dalam mata pelajaran
bahasa.
Upaya perubahan kurikulum
memang sebuah keniscayaan dalam pendidikan di Indonesia. Perkembangan teknologi
dan informasi yang sedemikian cepat harus dibarengi dengan adaptasi konseptual
yang cepat pula. Namun, perubahan itu seharusnya lebih terprogram (by design) dan
bukan karena ada masalah-masalah semacam kasus-kasus tawuran (by acident). Artinya,
perubahan kurikulum adalah untuk mensinergiskan pendidikan dengan berbagai
aspek, tetapi bukan atas dasar desakan-desakan dari lingkungan. Jika dilakukan secara
terprogram, pemerintah seharusnya menyiapkan terlebih dahulu berbagai hal yang
dibutuhkan. Yang paling penting adalah, ketersediaan sarana-prasarana dan kesiapan
sumberdaya guru. Problematika guru saja, mungkin akan menjadi satu tulisan yang
lain lagi, belum bisa diselesaikan
dengan baik oleh pemerintah, baik tingkat pusat maupun daerah.
Indonesia saat ini masih
dipusingkan dengan rendahnya mutu guru di berbagai daerah. Dan, beban baru
perubahan kurikulum saat ini membutuhkan guru yang berkualitas. Tampaknya, saya
memang harus berkesimpulan bahwa perubahan demi perubahan kerangka dasar
pendidikan di Indonesia memang selalu by acident. Bukan memelihara sifat pesimistis
tetapi jika ini dasarnya, sulit kita berharap perubahan akan membawa dampak
positif bagi pendidikan kita.
Yogyakarta, 23 November 2012
Novie S. Rupilu
Komentar
Posting Komentar