Langsung ke konten utama

Perubahan untuk semua



“Kelas menumpulkan pikiran dan mematikan kreativitas”. Kata John Nash dalam film The beatiful mind. Saya tidak tahu persis apakah Nash pernah mengungkapkan kalimat itu ketika melanjutkan studi di Princeton University. Tetapi, Nash adalah sosok unik yang jarang mengikuti perkuliahan didalam kelas tetapi pada akhinya mampu melahirkan karya intelektual yang sangat berpengaruh. Hadiah Nobel Ekonomi yang diterima pada tahun 1994 atas karyanya tentang teori permainan yang disebut “kesetimbangan nash” merupakan bukti bahwa Nash memang sosok yang unik.

Terlepas dari uniknya sosok seorang John Forbes Nash, kutipan kalimat singkat di atas mungkin bisa menjadi sebuah acuan bagi kita membentuk pemahaman tentang pendidikan. Nash tentu tidak sementara memprovokasi kita untuk membubarkan lembaga pendidikan formal. Tetapi, ada hal penting harus kita pelajari dari kutipan itu.

Pendidikan Bukan Cuma Sekolah.
Kutipan di atas dapat bermakna bahwa pendidikan seharusnya tidak dibatasi pada ruang seukuran 8x9 M yang disesaki 30-40 orang siswa setiap harinya. Pendidikan bukan hanya terjadi di sekolah atau kelas. Sejatinya, belajar - yang merupakan kata kunci dalam pendidikan - adalah sebuah proses dinamis yang terjadi kapanpun dan dimanapun seseorang berada. Seringkali kita mengalami bahwa apa yang dipelajari di dalam kelas tidak relevan dengan apa yang ada disekitar kita. Konsep-konsep yang diajarkan justru tak dapat diterapkan sama sekali ketika kita dihadapkan persoalan-persoalan nyata. Seringkali pula, seseorang baru merasakan proses belajar yang sesungguhnya ketika ia tidak lagi berada dalam konteks pendidikan formal. Di kompasiana ini misalnya, banyak kompasioner -termasuk saya - yang harus mengakui bahwa blog ini adalah tempat untuk belajar dan mengasah keterampilan-keterampilan kreatif. Sebagian dari kita harus mengakui bahwa pelajaran-pelajaran semacam ini tidak pernah didapati ketika berada pada jenjang pendidikan formal. Tetapi buktinya, dengan kemauan untuk terus belajar maka proses kreatif semakin tercipta dengan baik.

Beberapa hari lalu saya sempat membaca sebuah artikel di Harian Kompas (19/10/2012). Judulnya, “Pendidikan Moral Preman”. Sebuah judul yang diplesetkan dari nama mata pelajaran yang diajari pada zaman orde baru dulu. Ada penggalan kalimat yang sesungguhnya mungkin mencerminkan pemikiran sebagian besar, tidak semua, orang tentang pendidikan.
“ibarat membuat roti berbahan baku terigu, apabila hasilnya ternyata bakwan, mungkin ada yang salah dalam jenis bahan tambahan dan atau cara pengolahannya. Jika tujuan pendidikan adalah untuk mencerdaskan anak bangsa yang berbudi luhur, berahklah mulia dan bertakwa kepada Tuhan, tetapi hasilnya adalah lahir generasi cerdas tetapi bermoral preman, maka tentu ada yang salah dalam pendidikan kita. Bahan bakunya sudah jelas, para pelajar. Bahan tambahan dan cara pengolahannya mungkin perlu ditinjau ulang”.
Mungkin saja ini adalah sebuah titik acuan untuk menawarkan solusi perbaikan pendidikan kita ke depan, tetapi sangat disayangkan jika pendidikan dianalogikan sebagai pabrik dan siswa adalah bahan baku. Sekolah bukan pabrik yang mencetak barang-barang siap pakai. Sekolah bukan pabrik yang menghasilkan robot-robot intelek sesuai dengan apa yang diinginkan oleh zamannya. Sekolah adalah tempat dibudayakannnya nilai-nilai baik bersifat akademik maupun moral, yang mungkin sebagian dari nilai-nilai itu tidak akan dapat diukur hanya dengan istrumen berbentuk multiple choice yang setiap tahun menghantui guru dan siswa (UN).

Pendidikan adalah urusan publik dan semua orang memiliki kontribusi yang sama terhadap perkembangan intelektual dan moral seorang siswa. Mereka memang belajar di sekolah tetapi mereka juga mencontohi perilaku-perilaku yang acap ditemui di lingkungan tempat mereka tumbuh. Wacana pendidikan karakter yang akan diberlakukan pada kurikulum yang akan diberlakukan pada tahun depan menuntut dukungan dari semua elemen bangsa ini. Without an environment that is conducive to being a person of character, character education can not be effective, Tulis Kohn dalam artikelnya How not to teach values (1997). Pendidikan kita harus dibebaskan dari pikiran mekanistik yang melimpahkan tanggung jawab yang terlalu besar pada sekolah. Sebagai masyarakat, tanggung jawab sosial kita dalam pembentukan karakter seorang anak sangatlah besar. Menciptakan suasana yang kondusif mungkin hal yang terlalu mudah jika saja kita mau melakukannya dan hal itu sangatlah penting untuk mendukung pertumbuhan karakter anak yang akan menentukan nasib bangsa ini puluhan tahun ke depan, bahkan ketika kita tidak lagi menjadi tamu di bumi ini.

Perubahan Pola Pembelajaran
Kalimat Nash di atas juga dapat dimaknai sebagai sebuah catatan kritis untuk sekolah dalam mengelola pembelajaran di kelas. Bahwa, pembelajaran yang terjadi di ruang-ruang kelas seharusnya membuka peluang bagi tumbuhnya kreativitas siswa. Pembelajaran sudah seharusnya lebih demokratis dimana siswa berhak menentukan apa yang ingin mereka pelajari.   

Kita harus mengakui bahwa setiap siswa adalah unik dan setiap siswa memiliki potensi yang berbeda-beda sehingga pembelajaran yang kaku justru akan semakin menghambat proses kerja otak. Erik Jensen, dalam bukunya Brain Based Learnig (2008), menulis bahwa “sebagian besar guru tidak menyadari mereka telah menghalangi kemampuan belajar otak dengan mengajar menggunakan gaya yang intralinier, terstruktur, dan terprediksi. Hasilnya membosankan atau membuat frustasi para pembelajar yang kemudian terus berada dalam siklus yang tidak berkembang”.

Tantangan terbesar dalam pendidikan kita adalah bagaimana menciptakan pembelajaran yang menyenangkan dan yang lebih bermakna (meaningfull learning). Pembelajaran yang membuat kita meyakini bahwa kehadiran siswa di kelas adalah karena “mereka mau belajar” dan bukan “mereka harus belajar”. Riset tentang pola-pola pembelajaran yang dapat merangsang otak untuk belajar dan menciptakan lebih banyak sambungan neuron telah banyak dilakukan. Bahkan perkembangannya sangat cepat, tetapi kemampuan guru-guru kita untuk mensintesis hasil-hasil itu masih bergerak dengan kecepatan siput. Sudah beberapa tahap perubahan kurikulum yang kita lalui tetapi faktanya, guru masih terpola dengan pembelajaran gaya pembelajaran yang kaku dan membosankan. Pembelajaran masih terbatas pada menghafal (rote learning) konsep-konsep yang sangat berbeda dari realitas yang ada di sekitar. 
“Otak menggabungkan, menciptakan makna, dan menyeleksi pengalaman hidup sehari-hari dari berbagai petunjuk yang sangat banyak” Tulis Jensen. Oleh karena itu, pembelajaran tidak harus berjarak dari realitas sehari-hari. “Pengetahuan tentang informasi atau data yang terisolasi tidaklah cukup. Agar mempunyai makna, informasi dan data harus ditempatkan dalam konteksnya. Sama dengan kata cinta dalam konteks religius yang berbeda maknanya dengan kata cita dalam konteks profan”. tulis Edgar Morin dalam 7 esai pendidikan yang disumbangkan kepada UNESCO dan diterbitkan oleh Kanisius dengan judul Tujuh Materi Penting Bagi Dunia Pendidikan (2005).

Wacana perubahan kurikulum yang tahun akan segera diterapkan tahun depan seharusnya merupakan sebuah titik tolak bagi perubahan pendidikan secara menyeluruh. Indonesia memang membutuhkan sebuah perubahan, tetapi perubahan itu seharusnya benar-benar mencapai hal yang paling fundamental dan mencakup perubahan pada semua elemen banga. Kita harus belajar dari pengalaman perubahan-perubahan kurikulum yang sudah dilakukan. Bahwa perubahan itu hanyalah perubahan tertera pada lembaran-lembaran Peraturan Pemerintah. Perubahan-perubahan itu sulit diikuti dengan perubahan pada proses pembelajaran karena guru sulit merubah pola pemikiran mereka.

Wacana perubahan kurikulum kali ini harus dimulai dari sekarang. Tidak perlu menunggu sampai Franz Magnis Suzeno, Goenawan Mohammad, Anies Baswedan dan Juwono Sudarsono selesai memberikan pendapat tentang isi kurikulum dan para ahli menyiapkan rancangan peraturan pemerintah tentang kurikulum yang akan diluncurkan pada tahun 2013 nanti. Perubahan dapat kita mulai dari sekarang. Darimanakah perubahan itu dimulai? Sejatinya, perubahan itu dimulai sudah semenjak dari dalam pikiran. “Changing curriculum mean changing mind” Tulis Costa (1995).


___________________
Catatan: tulisan ini juga dipublikasi pada blog keroyokan www.kompasiana.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jari Manis Simbol Maskunilitas

Coba anda perhatikan antara jari telunjuk dan jari manis, manakah yang lebih panjang? Seringkali kita temukan ada pria yang memiliki jari manis yang lebih panjang dibanding dengan jari telunjuk. Pada wanita juga bisa ditemukan hal yang sama. Mengapa jari manis lebih panjang? Sebuah penelitian telah dipublikasi dalam  Proceeding of the National Academy of Sciences  seperti dikutip oleh  Science daily  (5/09/11)  menemukan bahwa panjang jari dipengaruhi oleh hormon seks pada masa embrio. Berdeda dengan penelitian sebelumnya,  penelitian ini tersebut menggunakan hewan coba tikus untuk mengetahui pengaruh hormon-hormon seks terhadap rasio digit. Dalam laporan penelitian tersebut, ahli biologi perkembangan Martin Cohn, Ph.D., dan Zhengui Zheng, Ph.D., dari  Howard Hughes Medical Institute  dan departemen genetika dan mikrobiologi molekuler di  UF College of Medicine  , mengatakan bahwa proporsi angka pria dan wanita ditentukan oleh keseimbangan hormon seks selama perkembangan em

Analisis Kritis

KONSOLIDASI MEMORI JANGKA PANJANG Oleh: Novie S. Rupilu Saya mungkin termasuk orang yang terlambat membaca buku  The Shallows . Buku yang masuk dalam finalis peraih penghargaan bergengsi Pulitzer Prize tahun 2011 lalu itu memang sudah beberapa kali saya lihat ketika berkunjung ke toko buku dan bagaimana bisa saya telah melewatkannya begitu saja. Tapi, saya berpikir positif saja dengan mengingat sebuah ungkapan “ late is better than never ”. Sekedar  mengingatkan kembali, buku itu terdiri dari 10 bab, belum termasuk prolog, epilog dan beberapa intermezo di dalamnya.  Buku itu merupakan perluasan dari artikel sebelumnya yang ditulis oleh Nicholas Carr pada majalah  The Atlanthic  dengan judul  Is google making us stupid?.  Nicholas Carr menyambung logika yang terputus pada esainya itu dengan menulis sebuah buku yang luar biasa. Kali ini Carr benar-benar menunjukkan bahwa ia memang serius dengan tuduhannya. Penjelasan mengenai sejarah buku, percetakan dan kegiatan mem