Tahun
1986, seorang peneliti dari University of British Colombia di vancouver Canada, Philip G. Ney, mengajukan
sebuah hipotesis bahwa cairan semen pria mungkin dapat menyebabkan perubahan
pada mood seorang wanita. Hipotesis
ini didasarkan pada analisis bahwa cairan semen pria mengandung beberapa hormon
antagonis terhadap depresi. Dan, dinding vagina dapat menyerap berbagai bahan
organik maupun anorganik. Hipotesis ini telah bertahan cukup lama sampai
akhirnya ada penelitian membuktikan bahwa hipotesis yang dijajukan oleh Ney
memang benar dan terbukti.
Cairan
semen atau sehari-hari disebut air mani adalah cairan yang membawa sel-sel
sperma yang dikeluarkan oleh organ seksual pria. Semen dikeluarkan melalui
proses ejakulasi dan bercampur dengan sel-sel sperma. Ketika ejakulasi, seorang
pria akan mengeluarkan 2-5ml cairan semen. Warna semen adalah putih mutiara
dengan bau khas langu dan pH 7-8. Jumlah cairan semen tidak boleh kurang dan
tidak boleh lebih. Jika kurang dari 1,5 ml atau lebih dari 5 ml maka dianggap
abnormal.
Dalam cairan semen inilah terdapat spermatozoa
merupakan penentu keberhasilan memperoleh keturunan. Yang normal, jumlah
spermatozoanya sekitar 20 juta/ml. Namun seringkali, ada pria yang memiliki spermatozoa
yang kurang (oligozoospermia) atau
bahkan tak ditemukan sel sperma sama sekali (azoospermia).
Dalam cairan semen ini terdapat zat-zat lain yang
berasal dari kelenjar-kelenjar sekitar reproduksi pria. Zat-zat itu berfungsi
menyuplai makanan dan mempertahankan kualitas spermatozoa sehingga bisa
bertahan hidup sampai masuk ke dalam saluran reproduksi wanita.Pada cairan
semen juga terdapat beberapa jenis hormon, antara lain: testosteron, estrogen,
FSH, LH, prolaktin dan beberapa jenis prostagladin. Pada tahun 1983, Benziger
& Edleson melakukan analisis yang akhirnya menemukan bahwa sebagian besar
hormon diserap pada dinding vagina.
Satu
dekade lebih sejak Ney mengemukakan hipotesisnya pada jurnal Medical Hypotheses,
barulah pada tahun 2002 ada penelitian yang bertujuan untuk membuktikan
hipotesis tersebut. Tiga orang peneliti dari Departemen Psikologi pada State University of New York at Albany
yang akhirnya tertarik untuk membuktikan kebenaran hipotesis tersebut. Dalam
hasil riset yang dipublikasi pada Archives of Sexual Behavior, Gordon G.
Gallup, Jr dan kedua rekannya menemukan bahwa hipotesis yang dikemukakan oleh
Ney itu adalah benar. Cairan semen yang dikeluarkan pria pada saat ejakulasi
memiliki efek antagonis untuk mengurangi depresi pada wanita. Mereka
berkesimpulan bahawa cairan semen adalah antidepresan yang baik untuk wanita.
Penelitian
itu melibatkan 293 mahasiswi di State
University of New York at Albany. Tanpa mencantumkan nama, pada wanita
tersebut diminta untuk mengisi angket yang dirancang untuk mengetahui perilaku
seksual, termasuk frekuensi berhubungan dan jenis kontrasepsi yang digunakan. Sampel
juga diminta untuk mengisi Beck
Depression Inventory untuk mengukur gejala depresi. Untuk membuktikan
kebenaran yang tertera pada angket, para peneliti juga mengukur keberadaan
cairan semen dalam darah sampel.
Dari
hasil analis, 87% sampel memiliki perilaku seks aktif. Dan, ketika dicocokan
dengan hasil yang diperoleh dari pengukuran depresi, ternyata sampel yang lebih
banyak menunjukkan gejala depresi adalah yang menggunakan selalu menggunakan
kondom ketika berhubungan seks. Hal yang sebaliknya terlihat pada sampel yang
tidak pernah menggunakan kondom. Sampel yang tidak menggunakan kondom memiliki
tingkat depresi yang sangat rendah dan berbeda nyata secara statistik dengan
yang menggunakan kondom.
Para
peneliti juga menemukan mereka yang tidak menggunakan kondom lebih jarang melakukan
hubungan seks dibanding dengan yang tidak menggunakan kondom. Oleh karena itu,
para penelit berkesimpulan bahwa cairam semen berfungsi sebagai antidepresan
karena sampel lebih sering melakukan hubungan seksual. Hasil penelitian Gallup
dan rekan-rekannya memperlihatkan bahwa dinding vagina menyerap molekul-molekul
biologi yang terdapat di dalam cairan semen yaitu testosteron, estrogen dan
prostaglandin yang diukur pada aliran darah sampel. Dengan demikian, penelitian
ini mendukung hipotesis bahwa keberadaan cairan semen dalam jalur reproduksi
wanita dapat berperan sebagai antidepresan yang baik.
Penelitian
tersebut juga menyarankan bahwa perlu dilakukan penelitian untuk meneliti
dampak oral sex terhadap keberadaan
cairan semen dalam darah wanita dan hubungannya dengan tingkat depresi. Hal ini
didasarkan pada analisis bahwa diantara sampel yang memiliki tingkat depresi
paling rendah juga terdapat 7 dari 10 sampel yang mengaku bahwa mereka
melakukan hubungan seks secara oral.
Memang
hasil penelitian ini harus diterjemahkan secara hati-hati dalam konteks yang
relevan dengan kondisi Indonesia. Bahwa hasil penelitian ini menjadi
pertimbangan penting bagi pasangan suami-istri dalam menjaga keharmonisan
hubungan dalam rumah tangga. Berhubungan seks secara rutin dan membiarkan
cairan semen berada di saluran reproduksi mungkin dapat mengurangi depresi pada
wanita, setidaknya menurut hasil penelitian di atas.
Sumber:
Gallup G. , Burch R. L and Platek S, N. 2002. Does Semen Have Antidepressant Properties?. Archives of Sexual Behavior, Vol. 31, No. 3, June 2002, pp. 289–293
Komentar
Posting Komentar