Langsung ke konten utama

Nichollas Carr dan Logika Ex Post Facto Yang Masih Terputus


Pada tahun 2008, Nichollas Carr mempublikasikan artikelnya pada The Atlantic. Esai yang tersohor itu berjudul Is google making us stupid?. Sebuah tulisan dengan judul yang sangat profokatif menurut banyak pengamat teknologi, bahkan boleh dikatakan sangat ekstrim. Carr memberikan pandangan yang berbeda terhadap budaya penggunaan internet yang semakin meningkat. Saya tak yakin bahwa Carr memiliki tendesi tertentu dengan mencantumkan Google pada judul tulisannya. Tentu saja saya harus berpikir bahwa penulis sekaliber Nichollas Carr tidak akan mencapur-aduk emosi dan kognitif, meskipun fakta neurosains banyak mengatakan bahwa emosi merupakan faktor paling dominan pada manusia ketimbang kognitif.
Keyakinan saya ketika hendak membaca artikel itu adalah bahwa Carr akan menyuguhkan fakta-fakta yang mengarahkan saya pada sebuah kesimpulan bahwa internet atau google memang berpotensi membuat penggunanya menjadi bodoh.  Paling tidak, sebuah argumentasi yang sarat dengan logika dan artikulasi konseptual atau malah suatu meta-analisis terhadap artikel-artikel ilmiah yang tidak terlalu sukar untuk dicerna nalar saya.
Beberapa paragraf awal yang saya lewati memberi gambaran bahwa logika yang digunakan Carr dalam tulisannya adalah ex post facto. Artinya, Carr berangkat dari sebuah fenomena atau gejala dan bermaksud menelusuri penyebab munculnya gejala tersebut. Hal ini terlihat jelas pada bagian awal artikelnya. Ia menulis bahwa,
can feel it, too. Over the past few years I’ve had an uncomfortable sense that someone, or something, has been tinkering with my brain, remapping the neural circuitry, reprogramming the memory. My mind isn’t going—so far as I can tell—but it’s changing. I’m not thinking the way I used to thinkI can feel it most strongly when I’m reading. Immersing myself in a book or a lengthy article used to be easy. My mind would get caught up in the narrative or the turns of the argument, and I’d spend hours strolling through long stretches of prose. That’s rarely the case anymore. Now my concentration often starts to drift after two or three pages. I get fidgety, lose the thread, begin looking for something else to do. I feel as if I’m always dragging my wayward brain back to the text. The deep reading that used to come naturally has become a struggle.
Carr berangkat dari fenomena yang terjadi pada dirinya. Bahwa, seseorang atau sesuatu telah berpikir dengan otaknya, memetakan ulang sirkuit sarafnya dan memrogram ulang memorinya. Fenomena ini jelas tidak kasat mata. Namun, Carr tahu keraguan itu dan memberikan indikator perubahan otak dengan mengatakan bahwa I can feel it most strongly when i’m reading. Hal ini berarti bahwa Carr menggunakan perubahan pada kebiasaan membacanya sebagai indikator perubahan cara berpikir dan struktur otak. Membaca memang melibatkan beberapa bagian otak. Bagian-bagian tersebut antara lain yang mencakup bagian otak yang mengontrol kemampuan berbahasa, visual dan memori.  Lalu apa yang menyebabkan berubahnya struktur otak Carr?
I think I know what’s going on. For more than a decade now, I’ve been spending a lot of time online, searching and surfing and sometimes adding to the great databases of the Internet. The Web has been a godsend to me as a writer. Research that once required days in the stacks or periodical rooms of libraries can now be done in minutes. A few Google searches, some quick clicks on hyperlinks, and I’ve got the telltale fact or pithy quote I was after. Even when I’m not working, I’m as likely as not to be foraging in the Web’s info-thickets’reading and writing e-mails, scanning headlines and blog posts, watching videos and listening to podcasts, or just tripping from link to link to link. (Unlike footnotes, to which they’re sometimes likened, hyperlinks don’t merely point to related works; they propel you toward them.)
Carr mengatakan bahwa kebiasaannya menggunakan internet adalah penyebab hilangnya konsentrasi membacanya. Bahwa cara mudah mendapatkan informasi melalui Google telah merubahnya dari seorangdeep reader menjadi skimmer. Google yang berbaik hati mengurangi waktu riset pustakanya telah merubah sirkuit-sirkuit saraf di otaknya. Akhirnya, Carr tidak dapat fokus ketika membaca naskah yang terlalu panjang. Bahkan, untuk menghabiskan 2 sampai 3 halaman saja sangat sulit, katanya. Pertanyaan yang muncul dalam benak saya adalah bagaimana google bisa merubah cara berpikirnya atau merubah sirkuit-sirkuit di otaknya? Jawaban atas pertanyaan ini tidak saya temukan dalam artikel itu. 
Memang sulit jika harus menguraikan mekanisme google merubah pemikiran penggunanya. Tetapi paling tidak, Carr seharusnya lebih memfokuskan analisisnya pada internet atau google sebagai penyebab utama cara berpikirnya. Jika bukti eksperimen tidak tersedia, paling tidak Carr bisa mengartikulasi konsep-konsepneuroscience untuk mendukung tuduhannya, jika tidak mau dikatakan memiliki tendensi tertentu. 
Sayangnya, Carr lebih fokus pada gejala dan mengabaikan penyebab munculnya fenomena tersebut. Carr lebih banyak mengutip pendapat tentang betapa pentingnya proses membaca. Atau, penelitian lain yang sebenarnya tidak langsung dapat mendukung argumentasi yang sementara dibangun dalam tulisannya. Misalnya, ketika mengutip penelitian tentang kebiasaan riset online yang dilakukan di University College London yang menyimpulkan bahwa pengguna yang mengakses jurnal, e-book atau referensi lainnya lebih cenderung melakukan skimming daripada membaca secara mendalam. Fenomena ini jelas sama dengan apa yang sedang dialami Carr dan kawan-kawannya sehingga lagi-lagi tidak dapat mengurai penyebab utama. Jauh panggang dari api. Carr lebih suka menggunakan anekdot-anekdot yang justru makin menjauhkan saya dari penyebab utama munculnya gejala yang dialami.

Bukti Eksperimen
Nichollas Carr juga menyadari bahwa ia telah gagal menunjukkan bukti riset yang mendukung argumentasinya. “anecdotes alone don’t prove much. And we still await the long-term neurological and psychological experiments that will provide a definitive picture of how Internet use affects cognition”Kata Carr.
Mungkin karena tidak lagi menggunakan google atau internet sehingga Carr tidak tahu bahwa pada tahun 2003 sudah ada apenelitian yang dipublikasi dalam jurnal Science Comunication pada bulan Desember 2003. Penelitian yang dilakukan di Sao Paulo Brazil oleh Mônica Macedo-Rouet dan koleganya. Mereka meneliti membaca dengan menggunakan web dibandingkan dengan yang menggunakan dokumen yang telah dicetak. Subjek yang digunakan adalah mahasiswa jurusan jurnalisme. Penelitian itu menyimpulkan bahwa subjek yang membaca hypertext mengalami disorientasi, kesulitan mengestimasi ukuran dokumen serta sulit mengartikan grafik dan tabel. Penelitian ini bisa menjadi bukti eksperimentasi bahwa membaca teks pada layar kaca tentu tidak terlalu efektif dibanding dengan membaca teks yang sudah dicetak. Artinya, jika seseorang cenderung menggunakan layar kaca sebagai pengganti buku teks maka bisa kita taksir bahwa orang itu tidak memahami isi teks secara lebih rinci. 
Bukti penelitian lainnya yang mungkin bisa mendukung argumentasi bahwa internet atau google bisa menyebabkan seseorang menjadi bodoh adalah yang dilakukan oleh Profesor Betsy Sparrow dan koleganya.Tiga tahun setelah Nicolas Carr mempublikasi tulisannya, Profesor Betsy Sparrow dari Columbia University juga mempublikasi penelitiannya di jurnal Sciece Experience pada bulan July 2011. Judul artikel itu  adalahGoogle Effects on Memory: Cognitive Consequences of Having Information at Our Fingertips. Sparrow telah melakukan serangkaian percobaan untuk mengetahui dampak internet terhadap memori.Sebagaimana dilansir oleh situs dailymail, Sparow menjelaskan bahwa “The internet has become a primary form of what psychologists call transactive memory - recollections that are external to us but that we know when and how to acces”. Dalam penelitiannya, Sparrow melakukan rangkaian eksperimen dengan menguji memori episodik subjek. Dalam penelitiannya, Sparrow menguji apakah subjek mampu mengingat apa yang telah mereka baca dan jika mengalami kesulitan media apakah yang paling mereka ingat. Hasil penelitian itu menyimpulkan bahwa ketika dihadapkan pada tugas yang sulit maka reponden lebih cenderung memikirkan tentang komputer, lebih tepatnya Google. 
Bagaimanapun juga, Sparrow dan rekan-rekannya telah menggunakan metode ilmiah untuk membuktikan apa yang dikemukakan oleh Nichollas Carr. Kalaupun ternyata hasil penelitian itu sejalan dengan argumentasi Carr, kita tidak bisa curiga terhadap subjektivitas penelitian itu hanya atas dasar alasan yang tidak ilmiah. Saya boleh saja mengatakan bahwa Sparrow dan koleganya terkesan tergesa-gesa menarik kesimpulan dan meletakan google di kursi pesakitan .Karena, faktanya adalah bahwa Sparrow dan koleganya tidak secara langsung menggunakan google sebagai media penelitian. Mereka hanya mengeksplorasi memori episodik subjek dan menarik kesimpulan berdasarkan hasil itu. 
Saya tidak bermaksud membantah hasil-hasil riset tersebut dengan retorika. Tetapi sebagai pembanding, saya mengajukan sebuah tulisan ilmiah lainnya yang merupakan rangkuman berbagai penelitian tentang teknik menata bentuk fisik tulisan pada website. Mary C. Dyson, dalam tulisannya How physical text layout affects reading from screen pada Jurnal Behaviour and Information Teachnology (2004), mengatakan bahwa umumnya orang yang membaca web menggunakan teknik membaca skimming dibanding dengan membaca secara detail. tetapi ada juga kondisi dimana kita dapat membaca dengan normal. Keterbacaan suatu teks pada web juga dipengaruhi oleh layout tulisan dan menurut hasil review Dyson, jumlah karakter per baris adalah merupakan faktor yang sangat penting. Tentu saja keterbacaan suatu teks bergantung dari bagaimana seseorang membaca dan penampilan fisik tulisan tersebut. Jika teks-teks yang ada pada websiteditata dengan baik maka hal ini bisa menjamin bahwa teks tersebut terbaca dengan baik. 
Saya sengaja menempatkan penelitian yang dilakukan oleh Garry W. Small dan koleganya pada bagian akhir tulisan ini. Small dan rekan-rekannya mempublikasi hasil penelitian mereka pada jurnal Am. J Geriatr Psychiatry – Februari 2009. Mereka telah menganalisis bagian-bagian otak yang aktif selama proses membaca secara online dan buku teks.  Subjek yang digunakan terdiri dari 2 kelompok yaitu kelompok yang mahir menggunakan search engine dan yang belum mahir. Kedua subjek dihadapkan pada tugas membaca dengan buku teks maupun secara online. Ketika membaca dengan buku teks tampak bahwa bagian-bagian otak yang aktif pada kedua kelompok subjek adalah sama. Perbedaanya adalah ketika membaca secaraonline. Subjek yang telah mahir menggunakan internet memiliki banyak area otak yang aktif dibanding dengan subjek yang belum mahir. “Hasil penelitian kami mendorong bahwa teknologi komputer yang dirancang untuk meningkatkan kemampuan kognitif dan fungsi otak dapat memiliki efek fisiologis dan bermanfaat untuk mereka yang berusia setengah baya atau orang yang lebih tua” Kata Gary W. Small dan koleganya dalam artikel yang berjudul  “Your Brain on Google: Patterns of Cerebral Activation during Internet Searching”. Inilah penelitian pertama untuk yang langsung menggunakan google sebagai media penelitian.
Hasil penelitian Small dan rekan-rekannya pun harus diartikan secara hati-hati. Bahwa dalam batasan tertentu, google juga efektif menstimulasi aktifnya berbagai macam area otak. Hal ini mengindikasikan bahwa google mampu menstimulasi lebih banyak sirkuit saraf untuk menjadi aktif. Namun, ada penelitian-penelitian lain yang juga memberikan temuan lain bahwa internet dapat menyebabkan kecanduan.
Saya pun belum berani menyimpulkan apakah google ternyata bisa membuat bodoh atau malah membuat pintar. Faktanya, sudah sekian banyak Sarjana, Magister, Doktor dan Profesor yang terbantu dengan adanyagoogle. Bagaimanapun, google memberikan kemudahan-kemudahan untuk mengakses lebih banyak referensi yang justru memperkaya khasanah ilmu pengetahuan seseorang. Di lain pihak, kutipan-kutipan riset di atas juga merupakan karya intelektual. Mungkin kita masih membutuhkan riset-riset yang lebih banyak lagi sebelum tiba pada sebuah kesimpulan. Dan, kita berharap bahwa riset-riset lainnya bisa menjembatani logika yang masih terputus ini.



Novie SR

_______________________
Catatan:
Tulisan Nichollas Carr dengan judul Is google making us stupid tergabung dalam beberapa kumpulan antologi yaitu The Best American Science and Nature Writing 2009The Best Spiritual Writing 2010 dan The Best Technology Writing 2009. Bukunya yang berjudul The Shallow: what the Internet Is Doing to Our Brains adalah New York Times bestseller dan masuk dalam nominasi peraih penghargaan bergensi yaitu Pulitzer Prize pada tahun 2011. Selain buku tersebut, Carr juga telah menghasilkan 2 buku lainnya The Big Switch: Rewiring the World, from Edison to Google (2008) danDoes IT Matter? (2004). Carr juga menulis di blog pribadinya www.roughtype.com.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jari Manis Simbol Maskunilitas

Coba anda perhatikan antara jari telunjuk dan jari manis, manakah yang lebih panjang? Seringkali kita temukan ada pria yang memiliki jari manis yang lebih panjang dibanding dengan jari telunjuk. Pada wanita juga bisa ditemukan hal yang sama. Mengapa jari manis lebih panjang? Sebuah penelitian telah dipublikasi dalam  Proceeding of the National Academy of Sciences  seperti dikutip oleh  Science daily  (5/09/11)  menemukan bahwa panjang jari dipengaruhi oleh hormon seks pada masa embrio. Berdeda dengan penelitian sebelumnya,  penelitian ini tersebut menggunakan hewan coba tikus untuk mengetahui pengaruh hormon-hormon seks terhadap rasio digit. Dalam laporan penelitian tersebut, ahli biologi perkembangan Martin Cohn, Ph.D., dan Zhengui Zheng, Ph.D., dari  Howard Hughes Medical Institute  dan departemen genetika dan mikrobiologi molekuler di  UF College of Medicine  , mengatakan bahwa proporsi angka pria dan wanita ditentukan oleh keseimbangan hormon seks selama perkembangan em

Analisis Kritis

KONSOLIDASI MEMORI JANGKA PANJANG Oleh: Novie S. Rupilu Saya mungkin termasuk orang yang terlambat membaca buku  The Shallows . Buku yang masuk dalam finalis peraih penghargaan bergengsi Pulitzer Prize tahun 2011 lalu itu memang sudah beberapa kali saya lihat ketika berkunjung ke toko buku dan bagaimana bisa saya telah melewatkannya begitu saja. Tapi, saya berpikir positif saja dengan mengingat sebuah ungkapan “ late is better than never ”. Sekedar  mengingatkan kembali, buku itu terdiri dari 10 bab, belum termasuk prolog, epilog dan beberapa intermezo di dalamnya.  Buku itu merupakan perluasan dari artikel sebelumnya yang ditulis oleh Nicholas Carr pada majalah  The Atlanthic  dengan judul  Is google making us stupid?.  Nicholas Carr menyambung logika yang terputus pada esainya itu dengan menulis sebuah buku yang luar biasa. Kali ini Carr benar-benar menunjukkan bahwa ia memang serius dengan tuduhannya. Penjelasan mengenai sejarah buku, percetakan dan kegiatan mem

Perubahan untuk semua

“Kelas menumpulkan pikiran dan mematikan kreativitas”. Kata John Nash dalam film The beatiful mind. Saya tidak tahu persis apakah Nash pernah mengungkapkan kalimat itu ketika melanjutkan studi di Princeton University. Tetapi, Nash adalah sosok unik yang jarang mengikuti perkuliahan didalam kelas tetapi pada akhinya mampu melahirkan karya intelektual yang sangat berpengaruh. Hadiah Nobel Ekonomi yang diterima pada tahun 1994 atas karyanya tentang teori permainan yang disebut “kesetimbangan nash” merupakan bukti bahwa Nash memang sosok yang unik. Terlepas dari uniknya sosok seorang John Forbes Nash, kutipan kalimat singkat di atas mungkin bisa menjadi sebuah acuan bagi kita membentuk pemahaman tentang pendidikan. Nash tentu tidak sementara memprovokasi kita untuk membubarkan lembaga pendidikan formal. Tetapi, ada hal penting harus kita pelajari dari kutipan itu. Pendidikan Bukan Cuma Sekolah. Kutipan di atas dapat bermakna bahwa pendidikan seharusnya tidak dibatasi pada rua